Aku menjejak balairung dada yang berlumut,
Lantainya merapuh seperti ingatan yang tak sempat kusirami.
Langit-langitnya menjuntai,
meluruhkan serpihan genting bagai rintik rahasia yang terbuka.
Cermin-cermin bertumbuh tiran, melumat cahaya yang hendak bernafas.
Pegangan pintu memagut erat, menyandera langkahku agar tetap berdiam dalam kebisuan.
Cat dinding yang terkelupas itu memucat, menyulam kerapuhan menjadi tapal batas yang sempit.
Setiap sudut menyusun duri, menyumpahi aku yang berlagak berani melongokkan perih.
"Apakah ku terluka?"
Namun rumah ini bukan sekadar bangunan. Ia berkelindan, mengakar di sela-sela nadiku, menyekik detak yang kupaksakan bertahan.
Aku menjarah lorong demi lorong yang berlumuran darah, dan mendapati, bahwa aku bukan penghuni yang terlupakan akulah rumah yang dipaksa terisi.
Yang mengering, meriang, menua, lalu memenjarakan diriku sendiri.
Yang sejak semula tergembok oleh pintu beton dari dalam.