Cherreads

Chapter 6 - Bab 6 akhir pekan yang singkat

Di suatu pagi Amel dan Sarah sedang jalan jalan dan membeli banyak hal saat mereka melihat sebuah kafe, di dalam kefe ada Raida yang sedang minum secangkir kopi.

"Hai... Raida kau di sini juga" kata Amel yang menghampiri Raida

"Kalian berdua... Sepertinya kalian membeli banyak hal" kata Raida sambil melirik belanja Amel dan Sarah

"Hahaha... Ini kami hanya iseng membelinya saja" balas Sarah

Mereka duduk di kursi meja Raida

"Apa kau sering kemari Raida?" kata Amel

"Ya kopi di sini cukup enak" balas Raida

Suasana menjadi canggung namun Raida tak peduli dan tetap meminum kopinya.

Sarah mencolek lengan Amel pelan. "Kenapa dia selalu seperti itu ya? Diam dan tenang, seperti batu."

"Aku dengar itu gaya khas Raida," bisik Amel balik, lalu keduanya tertawa kecil.

Raida meletakkan cangkirnya dan melirik mereka. "Kalian berbicara seolah aku tidak di sini."

Amel tersenyum canggung. "Maaf… kami hanya bingung, kamu selalu serius, bahkan saat minum kopi."

Raida mengangkat bahu. "Tidak semua orang bisa santai seperti kalian."

Sarah mendengus. "Ya ampun. Setidaknya berterima kasih karena kami menemanimu."

Raida menatap mereka berdua sejenak, lalu berkata dengan nada datar, "Terima kasih."

Meskipun suaranya terdengar datar, Amel dan Sarah tersenyum lebar.

"Lihat kan?" kata Amel sambil menunjuk Raida, "dia bisa juga bersosialisasi."

Raida menatap jam tangannya sejenak. "Kalian mau ke mana setelah ini?"

Amel tampak berpikir, lalu berkata, "Aku mau pulang sih… Tapi kalau kamu tidak sibuk, mau mampir ke rumahku sebentar? Masih pagi, dan... kupikir minum teh di taman belakang sambil duduk santai cukup menyenangkan."

"Rumahmu yang besar itu?" tanya Raida.

Iya, yang terlalu besar untuk ditinggali seorang diri." balas Sarah

Amel tersipu. "Itu rumah lama keluarga. Aku hanya merawatnya sekarang."

Raida berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Baik. Tidak ada salahnya."

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah Amel. Gerbang otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan taman kecil dan jalan setapak dari batu alam. Rumah itu berdiri tenang, dikelilingi tanaman yang tertata rapi. Jendelanya besar, memantulkan langit biru pagi itu.

"Silakan masuk," kata Amel membuka pintu depan.

Bagian dalam rumah terasa sejuk dan lapang. Ruang tamunya sederhana namun elegan, dengan perabotan kayu yang dipadukan dengan warna-warna lembut. Di salah satu sudut ada rak penuh buku dan pot tanaman hijau yang menggantung dari langit-langit.

Sarah langsung menjatuhkan tubuh ke sofa. "Akhirnya… tempat yang tenang dan empuk!"

Amel berjalan ke dapur. "Aku buatkan teh hangat. Kalian mau camilan juga?"

Raida berdiri di dekat jendela, memperhatikan taman belakang yang dipenuhi tanaman hijau dan kolam kecil dengan batu-batu besar di sekelilingnya."Rumah ini... tenang sekali," gumamnya.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk di teras belakang, masing-masing memegang cangkir teh. Angin sepoi-sepoi berhembus pelan, membawa aroma daun mint dari kebun kecil di pojokan taman.

"Aku suka pagi seperti ini," kata Amel pelan. "Tak perlu buru-buru, tak ada tugas, tak ada misi"

Sarah mengangguk. "Seharusnya kita punya lebih banyak akhir pekan seperti ini."

Raida hanya diam. Tapi senyumnya meski samar cukup untuk menjawab.

"Aku kadang berharap waktu bisa berhenti di momen seperti ini." kata Amel

"Kau bisa minta bantuan teknisi waktu," canda Sarah.

Raida menjawab pelan, "Waktu tidak akan pernah berhenti. Tapi kita bisa memilih untuk memperlambat langkah kita, sesekali."

Amel menoleh. "Kau baru saja berkata sesuatu yang bijak. Apa kau baik-baik saja, Raida?"

Sarah tertawa. "Dia terkena efek teh mint sepertinya."

Raida hanya menggeleng pelan, menatap ke langit yang bersih tanpa awan. "Kalian berdua... terima kasih. Karena pagi ini terasa lebih... ringan."

Mereka bertiga duduk dalam diam beberapa saat, hanya ditemani suara gemericik air dari kolam kecil, angin yang menggoyang daun, dan aroma teh yang menghangatkan suasana.

Amel berdiri dari kursinya dan menggeliat ringan. "Aku ambilkan handuk kecil, siapa tahu kalian mau cuci muka atau duduk lebih santai di dekat kolam."

Sarah mengangkat tangan. "Aku mau! Air di taman belakang itu kelihatan segar."

Raida tidak berkata apa-apa, hanya menatap ke arah jendela taman dan mengangguk kecil. Diam diam, ia menikmati suasana itu jarang sekali ada momen di mana dunia tak menuntut apa-apa darinya.

Beberapa menit kemudian, mereka bertiga duduk di tepi kolam yang ada di taman belakang. Airnya dangkal dan jernih, memantulkan cahaya matahari pagi yang masuk di sela-sela dedaunan.

Amel membuka sandal dan mencelupkan kakinya ke dalam air. "Aaah... hangat sekali. Aku setel suhu airnya kemarin malam, pas sekali."

Sarah mengikuti, dan setelah merasa nyaman, ia berbaring setengah telentang di atas bangku panjang dari batu. "Aku bisa tertidur di sini. Serius."

Raida duduk di sisi lain, membiarkan angin membelai rambutnya perlahan. Ia tidak mencelupkan kaki ke kolam, hanya menatap permukaan air yang beriak lembut. Matanya terlihat lebih lembut, seolah hatinya sedikit lebih ringan dibanding biasanya.

Amel meliriknya. "Kau tidak apa-apa?"

Raida menjawab pelan, "Hanya berpikir... sudah lama aku tidak berada di tempat seperti ini. Tidak dikelilingi alat, senjata, atau... perintah."

Sarah membuka satu matanya dan menoleh. "Itu kenapa aku suka rumah ini. Di sinilah aku bisa melakukan apa pun yang aku suka"

"Sekuat apapun kita dibuat oleh keadaan, tetap saja kita... perlu duduk. Diam. Dan bersantai" kata Amel

Raida menatap Amel, lalu Sarah. "Kalian berdua... terima kasih."

"Hei, jangan jadi terlalu serius," kata Sarah cepat-cepat sambil duduk tegak. "Ini akhir pekan, bukan sesi terapi."

Amel tertawa.

"Kalau Raida sudah bilang 'terima kasih' tanpa diminta, itu hal langka."

Raida tersenyum samar, lalu berkata, "Mungkin rumah ini punya energi aneh."

"Tentu saja, itu karena aku yang tinggal di sini," jawab Amel sambil menjulurkan lidah, membuat Sarah tertawa keras.

Mereka bertiga terdiam sejenak, hanya menikmati suara angin dan gemericik air.

Lalu Amel berdiri sambil menepuk tangannya. "Bagaimana kalau kita buat sesuatu untuk dimakan siang nanti?"

Sarah langsung bangkit. "Setuju. Tapi jangan minta aku masak. Aku bisa bantu potong sayur, itu saja."

"Tenang, aku pegang kendali dapur," kata Amel sambil tersenyum percaya diri.

Raida berdiri terakhir. "Apa yang kalian butuhkan?"

"Kau?" Sarah melirik. "Cukup jangan duduk diam. Kalau perlu, bersihkan meja makan."

Raida mengangguk, mengikuti mereka masuk ke dapur. Bukan karena disuruh, tapi karena ia ingin tetap ada di dekat Amel dan Sarah, di momen sederhana ini yang entah kenapa terasa... penting.

Beberapa saat kemudian, dapur dipenuhi aroma wangi dari sup yang mendidih, suara pisau di talenan, dan obrolan kecil yang bersahutan.

Sarah beberapa kali tertawa karena salah memotong bawang, sedangkan Raida sibuk mengelap meja dan mengambil peralatan makan dengan tenang.

Setelah semuanya siap, mereka duduk di meja makan sederhana dengan cahaya alami dari jendela besar di sampingnya.

Makanan tidak mewah sup hangat, roti panggang, dan buah-buahan segar tapi cukup untuk membuat mereka merasa seperti keluarga kecil yang makan bersama.

Saat itu, tanpa ada musuh, tanpa ancaman, tanpa sejarah masa lalu, mereka hanya tiga orang yang menikmati akhir pekan yang singkat... dan bermakna.

Dan mungkin, tanpa mereka sadari, momen itu akan menjadi salah satu kenangan yang paling mereka simpan, jauh di lubuk hati mereka masing-masing.

More Chapters