Langit Elarion berwarna biru kelabu. Di kejauhan, lautan terlihat tenang, terlalu tenang seperti sedang menahan napas. Tapi semua tahu, badai akan segera datang.
Di dalam ruang strategis kapal utama Gerbang Lautan, suasana mencekam. Peta ajaib terhampar di atas meja bundar, menampilkan garis pergerakan pasukan bayangan yang perlahan mengepung dari tiga arah: barat, selatan, dan… bawah laut.
Kaelus menunjuk area di sekitar kristal pusat.
"Jika menara energi diserang, pertahanan kota akan runtuh dalam hitungan jam. Tidak ada waktu memperkuat struktur. Satu-satunya cara... adalah bertahan di garis luar."
Zera mengetukkan jarinya di sisi barat peta. "Mereka akan datang dari bawah laut juga. Jika kita lengah, kapal kita akan tenggelam bahkan sebelum perang dimulai."
Elira menatap Abbas yang diam di ujung ruangan. "Kau belum bicara sejak tadi."
Abbas mengangkat kepalanya perlahan. Matanya tampak letih bukan karena fisik, tapi karena beban tanggung jawab yang tiba-tiba begitu besar.
"Ini pertama kalinya aku merasa… dunia ini mempercayaiku," katanya pelan. "Dan aku takut mengecewakannya."
Zera mendengus kecil. “Rasa takut itu penting. Karena orang yang takut akan bertarung sungguh-sungguh.”
Malam Sebelum Serangan
Kapal utama terapung perlahan di atas laut yang tenang. Di kejauhan, lampu-lampu kristal menyala redup di sepanjang menara Gerbang Lautan.
Abbas duduk sendirian di dek atas, memandangi bintang-bintang. Di tangannya, Lampu Kehidupan yang kecil terus berdenyut lembut, seperti jantung yang terus memberi harapan.
Suara langkah ringan terdengar.
Elira.
Ia duduk di samping Abbas, membawa dua cangkir teh hangat. "Aku ingat pertama kali kau datang ke dunia ini. Canggung. Bingung. Terlalu banyak bertanya."
Abbas tersenyum lelah. "Dan sekarang aku terlalu banyak... memimpin."
"Kau berubah," ujar Elira. "Tapi tetap menjadi kau. Itu penting."
Abbas menatapnya lama. "Jika aku mati besok... aku ingin kau tahu, aku tidak menyesal pernah datang ke sini."
Elira terdiam. Matanya lembut tapi dalam. “Kalau aku yang mati duluan, jaga dunia ini untukku.”
Abbas menggenggam tangan Elira sebentar. Tidak lama. Tapi cukup.
Pagi Gelap
Saat matahari belum naik, terompet dari kapal pengintai terdengar. Suara itu serak, panik, dan penuh peringatan.
Zera muncul di dek, membawa kabar. “Bayangan di bawah permukaan laut. Raksasa. Mungkin... makhluk penjaga dari Val’Tharok.”
Kaelus turun dari menara pengawas. “Gerakan dari barat juga menguat. Mereka tak menunggu siang. Mereka mulai sekarang.”
Semua pandangan tertuju pada Abbas.
Abbas berdiri di tengah geladak. Memandang para prajurit yang bersiap, para penenun sihir, para pemanah, bahkan para tabib yang menggigit bibir mereka karena tahu—ini mungkin hari terakhir.
Dan untuk pertama kalinya, Abbas tidak melihat dirinya sebagai orang asing. Tapi sebagai bagian dari mereka.
Sebagai penjaga Elarion.
Akhir Bab
Sebelum pertempuran, Abbas menatap laut luas dan langit yang mulai berawan. Ia tahu pertempuran ini tidak bisa dimenangkan hanya dengan kekuatan.
Ia harus percaya.
Pada mereka.
Pada dirinya.
Dan pada Lampu Kehidupan… yang masih menyala.