Udara pagi di Kota Aurath berembus lembut, membawa wangi dari pohon-pohon kelara yang sedang mekar. Tapi hati Abbas tidak setenang langit hari itu.
Ia berdiri di halaman luar perpustakaan kuno, menunggu Elira. Hari ini, mereka akan membaca gulungan tersembunyi yang menurut Kaelus... mungkin berisi kebenaran tentang Val’Tharok.
Elira muncul tak lama kemudian, membawa kunci kristal. “Kaelus bilang, gulungan ini hanya boleh dibuka oleh dua hal: Cahaya Solara dan... kehendak yang murni.”
Abbas tersenyum tipis. “Yah... aku rasa aku punya setengahnya.”
Ruang Rahasia
Di dalam perpustakaan terdalam, di balik lorong tersembunyi yang hanya bisa dibuka dengan cahaya Lampu Kehidupan, mereka menemukan sebuah ruangan kecil. Di tengahnya, gulungan perak tergeletak di atas batu kristal, berkilau lembut.
Saat Abbas menyentuhnya, kilatan cahaya mengelilingi ruangan. Dan perlahan... kisah lama mulai terwujud di udara.
Suara lembut—mungkin kenangan, mungkin sihir—berbicara.
"Dahulu kala, sebelum Elarion bersatu, ada dua penjaga cahaya. Kembar. Saudara. Yang satu menjadi matahari pagi... dan yang satu menjadi bayangan di belakangnya."
Di hadapan Abbas dan Elira, muncul sosok dua pemuda berjubah putih dan hitam.
"Yang satu memilih memberi... yang satu memilih menyimpan. Yang satu bernama Solir... yang satu bernama Tharok."
Elira menegang. “Tharok…”
"Tharok tidak lahir dari kegelapan. Ia lahir dari cinta. Tapi ketika dunia memilih saudaranya… ia menghilang. Dan ketika ia kembali, ia membawa bayangan yang tak mengenal waktu."
Cahaya itu padam perlahan, meninggalkan keheningan.
Percakapan yang Terpendam
Keluar dari ruangan itu, Abbas duduk di tepi kolam suci. Ia menggenggam Lampu Kehidupan erat.
“Elira,” katanya pelan. “Kau tahu semua ini. Tapi kenapa tidak memberitahuku?”
Elira menunduk. “Karena... aku takut kau akan mundur.”
“Kenapa?”
“Karena Val’Tharok bukan sekadar musuh. Ia... dulunya Penjaga seperti kita. Ia tahu caranya menghancurkan bukan hanya tubuh, tapi hati. Dan aku... pernah nyaris jatuh karena kata-katanya.”
Abbas menatap wajahnya. Di balik ketegasan Elira, ada luka yang lama. Luka yang belum sembuh.
“Aku takkan pergi, Elira,” katanya. “Bahkan jika aku harus jatuh. Aku akan bangkit untukmu. Untuk mereka semua.”
Zera dan Luka Lama
Sore itu, Abbas menemukan Zera sedang sendiri di ruang latihan. Busurnya tergeletak. Anak panah berserakan. Ia hanya duduk menatap lantai.
“Kau oke?” tanya Abbas.
Zera tak menjawab sejenak. Lalu, “Aku punya kakak laki-laki. Dulu.”
Abbas terdiam.
“Dia bergabung dengan Penjaga Lautan Selatan. Lalu hilang... dalam Perang Bayangan pertama.”
Abbas tahu ini adalah pertama kalinya Zera berbicara soal keluarganya.
“Dia bilang, 'kalau aku mati, jangan menangis. Tembak saja lebih banyak musuh dari aku.' Tapi... aku masih menangis sampai sekarang.”
Abbas duduk di sampingnya. Tak berkata apa-apa. Tapi bagi Zera, kehadiran itu cukup.
Kaelus dan Janji Lama
Malam hari, Abbas dipanggil ke taman pribadi Kaelus. Lelaki tua itu menatap bintang-bintang, diam.
“Kau tahu mengapa aku tidak pernah jadi Pemimpin Penjaga?”
Abbas menggeleng.
“Karena aku pernah jatuh cinta pada wanita bayangan,” bisiknya.
Abbas tercengang.
“Namanya Maevena. Dulu, sebelum Val’Tharok muncul, bayangan dan cahaya belum sepenuhnya terpisah. Tapi... cinta kami dihukum. Dia pergi. Dan saat ia kembali... ia adalah pengikut Val’Tharok.”
Kaelus menatap Abbas dengan mata tua yang basah. “Jangan pikir jalanmu akan bersih. Semakin kau memegang cahaya, semakin gelap bayangan yang mengikutimu.”
Akhir Bab
Malam itu, Abbas berdiri di balkon kamarnya. Angin membawa suara-suara kecil: tawa anak-anak di bawah, denting lentera, bisikan air.
Ia menatap Lampu Kehidupan di tangannya.
“Aku mungkin belum siap,” katanya. “Tapi aku akan tetap berjalan. Karena tak ada yang benar-benar siap... untuk menyelamatkan dunia.”
Di kejauhan, langit mulai menghitam. Perlahan. Tenang. Menyusup seperti racun.
Val’Tharok... sedang menunggu.