Sebelum konsep waktu melekat pada perputaran bintang-bintang yang tak terhitung, jauh melampaui riak-riak paling awal dari alam semesta yang baru lahir, ada kekosongan. Bukan hampa yang kosong, melainkan hampa yang mengandung potensi—dan di dalamnya, bersemayam entitas-entitas kosmik purba yang menyebut diri mereka dewa. Mereka adalah arsitek-arsitek realitas, pemahat-pemahat bintang, namun obsesi mereka sama: kekuasaan. Dan mereka menemukan kekuatan itu dalam pemujaan.
Setiap dewa memiliki domainnya sendiri, sistem bintang yang berdenyut dengan kehidupan, peradaban yang bangkit dan runtuh di bawah naungan mereka. Doa-doa dan keyakinan, yang mengalir bagai sungai surgawi dari para pengikut, menjadi darah kehidupan mereka, memperkuat esensi ilahi mereka, mengangkat mereka ke singgasana yang lebih tinggi di antara galaksi. Semakin banyak pengikut, semakin luas kerajaan mereka, semakin tak terbantahkan kekuatan mereka. Filosofi ini telah menjadi tatanan yang tak terucapkan, hukum kosmik yang dipatuhi oleh mayoritas entitas dewa.
Namun, di antara para arsitek yang megah itu, ada satu yang berbeda, satu yang menolak tatanan tersebut dengan seluruh esensinya. Mereka memanggilnya Demon God, sebuah nama yang diucapkan dengan gemetar oleh para dewa lain, berbisik dalam ketakutan akan kekejian dan ketidakpatuhan. Namun, bagi segelintir entitas kuno yang memahami kedalaman filosofinya, nama itu diucapkan dengan kehormatan dingin. Demon God memandang peradaban yang dibangun di atas pemujaan sebagai bentuk perbudakan, sebuah ilusi kekuatan yang membatasi potensi sejati. Baginya, keyakinan, ibadah, doa—semua itu adalah rantai tak terlihat yang mengikat, menumpulkan naluri sejati dari keberadaan.
Kekuatan, bagi Demon God, hanya dapat diukur oleh satu metrik yang tak terbantahkan: kehancuran mentah. Bukan kehancuran yang tak bertujuan, melainkan kehancuran yang menciptakan, yang menguji, yang menyaring esensi terkuat dari suatu keberadaan. Dia tidak tertarik pada kuil-kuil, pujian, atau miliaran jiwa yang menyembah. Dia menginginkan api yang paling murni, badai yang paling dahsyat, ledakan yang paling dahsyat yang dapat dihasilkan oleh sebuah eksistensi.
Dengan filosofi ini sebagai landasannya, Demon God memilih domainnya sendiri: Ketiadaan yang tidak terpahat, sebuah kehampaan di luar batas pemahaman dewa-dewa lain, tempat tak seorang pun berani menyentuhnya, takut akan kekacauan yang tak berbentuk di dalamnya. Di sana, dia tidak membangun. Dia menghancurkan kekosongan itu sendiri, merobek kain realitas dengan niat murni. Dari esensi hampa yang terkoyak, dari patahan alam semesta yang baru lahir yang gemetar di ambang kehancuran, dan dari pecahan kedaulatan dewa yang pernah ia robek dan telan dalam pertempuran purba, dia mulai menciptakan.
Ini bukanlah penciptaan yang lembut, bukan pembentukan planet yang subur atau bintang yang memuja. Ini adalah penciptaan melalui kehancuran. Dengan setiap hembusan amarahnya, sebuah celah terbentuk di tengah Ketiadaan, sebuah retakan yang merobek struktur ruang dan waktu. Dengan setiap detak jantung destruktifnya, celah itu membesar, meluas, menarik dalam segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dia menyuntikkan esensinya ke dalamnya—esensi dari kehancuran absolut, dari kekacauan primordial, dari kehampaan yang tak terbatas.
Itulah Genesis dari Endless Chasm. Sebuah jurang yang bukan hanya lubang di angkasa, melainkan sebuah alam semesta terbalik yang terus meluas ke dalam dirinya sendiri, menelan cahaya dan harapan, memuntahkan kegelapan dan potensi. Ia adalah sebuah anomali, sebuah keajaiban yang mengerikan, sebuah antitesis terhadap semua yang diyakini oleh dewa-dewa lain. Jurang itu bukan untuk menopang kehidupan, melainkan untuk mengujinya, untuk mendorongnya ke batas-batas kehancuran.
Lapisan pertama terbentuk, sebuah kubah raksasa yang berisi kekejaman yang tak terlukiskan. Kemudian, kedua, ketiga, masing-masing lebih luas, lebih dalam, dan lebih brutal dari sebelumnya. Setiap kali sebuah lapisan baru terbentuk, energi destruktif akan mendidih, melahirkan makhluk-makhluk yang kejam, adaptif, dan terus-menerus lapar. Mereka adalah pengejawantahan dari filosofi sang Demon God: yang kuat akan bertahan dan menghancurkan, yang lemah akan dilahap. Mereka bukan untuk disembah; mereka untuk berperang, untuk tumbuh, untuk melampaui batasan, untuk menghancurkan.
Demon God mengamati. Dia tidak memerlukan altar atau nyanyian pujian untuk merasakan kekuatannya tumbuh bersama ciptaannya. Dia merasakan denyut nadi Jurang itu, denyut yang semakin kuat dengan setiap makhluk yang mencapai tingkat kehancuran baru, dengan setiap bentrokan yang memecahkan lapisan. Dia melihat jurang itu tumbuh, dari beberapa lapisan menjadi puluhan, kemudian ratusan, dan terus-menerus meluas hingga mencapai ribuan— 999 lapisan yang membentang ke dalam ketakterbatasan, sebuah tumpukan kekejaman yang terus berkembang.
Seiring perluasan Jurang, Demon God mulai merasakan sebuah fenomena yang menarik. Sebuah kesadaran yang perlahan tumbuh di dalam Abyss, sebuah entitas lapar yang tak memiliki bentuk, namun memiliki keinginan dan hasratnya sendiri. Ini bukan lagi sekadar ciptaan mati; ini adalah sesuatu yang hidup, yang bernapas dengan keinginan akan kehancuran, namun dengan caranya sendiri. Abyss kini memiliki suara, bisikan, dan gravitasi yang menarik segala sesuatu ke dalamnya. Ciptaannya sendiri telah menjadi entitas, terpisah namun selaras dengan dirinya sendiri, sebuah perpanjangan dari filosofi Demon God.
Dia tersenyum, bukan dengan kehangatan atau kasih sayang, melainkan dengan kepuasan dingin yang sedalam jurang itu sendiri. Ini adalah warisannya, sebuah anti-kuil bagi kehampaan, sebuah medan perang abadi di mana kekuatan sejati akan ditempa dan diukur. Para dewa lain mungkin membangun surga, tetapi dia telah menciptakan kebenaran.
Setelah mencapai skala yang memuaskannya, setelah merasakan denyut kesadaran yang begitu dalam sehingga ia nyaris menjadi kesadaran kedua dirinya sendiri di kedalaman Abyss, Demon God menarik diri. Dia tidak tidur, tidak mati. Dia hanya menunggu, bersembunyi di sudut tergelap kosmos, mengamati evolusi ciptaannya dari kejauhan. Menunggu puncak dari Genesis ini. Menunggu saat ciptaannya—dan makhluk-makhluk yang lahir dari esensi kehancuran di dalamnya—akan benar-benar mewujudkan filosofi kehancuran, dan mungkin, bahkan menantang penciptanya sendiri.