Di Bumi, tempat yang kini terasa seperti mimpi kabur, ia adalah Ren. Seorang individu biasa, terperangkap dalam rutinitas sebuah kota metropolitan yang bising dan tak kenal lelah. Hidupnya, seperti miliaran lainnya, adalah serangkaian ambisi kecil, kekecewaan sesaat, dan pencarian makna yang tak pernah benar-benar tuntas. Dia tidak mencari bahaya, tidak pula merindukan kekuatan. Ia hanya ingin hidup. Namun, takdir memiliki rencana yang jauh lebih brutal daripada sekadar eksistensi biasa.
Kecelakaan itu terjadi begitu cepat, secepat kilat yang merobek langit malam yang tenang. Sebuah tabrakan. Dentuman logam yang merobek udara, jeritan-jeritan yang singkat, dan kemudian... ketiadaan. Bukan kegelapan yang menenangkan seperti tidur, melainkan kekosongan yang dingin, sunyi, dan tak berujung. Ren tidak merasakan sakit, tidak pula takut. Hanya sebuah keterpisahan yang total dari segalanya yang ia kenal. Ia hanyalah sebuah kesadaran yang melayang, tanpa bobot, tanpa arah.
Berapa lama ia melayang di antara ketiadaan itu, ia tak tahu. Mungkin detik, mungkin berabad-abad. Konsep waktu telah kehilangan maknanya. Namun, di tengah kehampaan itu, sebuah tarikan mulai terasa. Bukan tarikan gravitasi, melainkan sesuatu yang lebih primal, lebih gelap—seperti pusaran raksasa yang tak terlihat, menariknya dengan kekuatan yang tak dapat ia lawan. Sensasi itu bukanlah kenyamanan; itu adalah lapar yang tak terbatas, mengancam untuk menelannya utuh. Ia melawan, mencoba berpegangan pada sisa-sisa identitasnya dari Bumi, namun tarikan itu terlalu kuat.
Semakin dekat ia ditarik, semakin intens sensasi itu. Kegelapan mulai menampakkan tekstur, dinginnya berubah menjadi tekanan yang menghimpit. Dan kemudian, sebuah dentuman kosmik yang tak terdengar, namun terasa hingga ke inti kesadarannya. Sebuah kejutan yang merobek, membakar, lalu membentuk kembali. Ada sensasi tulang yang retak dan menyatu kembali, otot yang merobek dan tumbuh, kulit yang mengeras dan menebal. Bukan lagi tubuh manusia yang rapuh. Itu adalah... metamorfosis yang mengerikan.
Ia terbangun dengan napas terengah-engah, bukan udara, melainkan kekosongan yang dingin dan berbau aneh. Matanya terbuka, namun tidak ada cahaya. Hanya kegelapan pekat yang menindih, yang ia sadari, kini bisa ia lihat. Matanya telah berubah. Visi barunya yang mengerikan menangkap siluet-siluet samar di kejauhan, bayangan-bayangan yang bergerak dalam kegelapan.
Tubuhnya terasa asing, namun juga anehnya, familiar. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, dan yang ia lihat bukanlah jari manusia, melainkan cakar-cakar tumpul yang mulai tumbuh. Kulitnya terasa kasar, seperti batu yang diukir. Rahangnya terasa berat, dan sentuhan lidahnya menemukan deretan gigi yang tajam dan tak rata. Ia bangkit, merasakan sendi-sendi baru yang berderak dan gemetar di bawah bobotnya. Ia terlalu besar, terlalu berat, terlalu... asing.
Rasa takut menusuknya. Ini bukan dia. Ini adalah sebuah kesalahan. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lain—sebuah kelemahan yang memualkan. Tubuh barunya ini, meski tampak menakutkan, ternyata sangat lemah. Ia merasakan setiap selnya berteriak kelaparan, setiap ototnya bergetar karena kekurangan energi. Ia seperti bayi monster yang baru lahir, rapuh dan rentan di tengah kegelapan yang tak termaafkan ini.
Sebuah suara datang dari kegelapan yang mengelilinginya, bisikan yang beresonansi dari setiap dinding jurang, dari setiap butir ketiadaan. Itu adalah suara yang dalam, purba, dan tanpa emosi. "Kau telah tiba. Sebuah ketiadaan yang mengisi kekosongan. Sebuah kelemahan yang akan menjadi kekuatan."
Suara itu adalah Abyss. Entitas yang kini melingkupi dirinya, yang telah menariknya masuk, yang telah mengubahnya.
Ren mencoba melangkah, namun kakinya gemetar. Setiap gerakannya membutuhkan usaha yang kolosal. Aroma busuk, campuran darah kental dan belerang, kini terasa lebih dekat. Naluri barunya, bukan lagi pikirannya, membimbingnya. Ada bangkai. Ada kehidupan. Dan yang terpenting, ada makanan.
Di tengah kegelapan, matanya yang kini adaptif menangkap siluet. Sekumpulan Gnasher—makhluk Abyss yang destruksinya di Tier 1—seperti serigala bertaring baja dengan kulit batu—berebut bangkai Bellowbeast, monster buas di Tier 2 yang tubuhnya terbelah dua. Pertarungan internal Ren antara kengerian masa lalunya dan dorongan predator barunya berlangsung singkat. Rasa lapar, rasa sakit akibat kelemahan, dan desakan untuk bertahan hidup, menang.
Ia adalah Ren, makhluk lemah yang baru lahir di lapisan mengerikan Layer Lima Ratusan dari Endless Chasm. Dan untuk bertahan hidup, ia harus makan. Ia harus tumbuh. Ia harus menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar mangsa.